Terkadang, insan selalu memikirkan hal-hal yang diluar dari batas kemampuannya untuk sanggup menemukan apa yang mereka pikirkan. Secara manusiawi, pikiran tersebut terkadang terlintas di pikiran kita secara tidak sengaja. Terkadang mereka memikirkan Siapakah Tuhan itu, jikalau Tuhan tidak ada apakah ada kehidupan, siapakah yang membuat Tuhan. Inilah salah satu teladan pikiran insan yang melampau batas kemampuan yang terkadang terlintas di pikiran insan untuk memecahkan permasalahan yang mereka miliki.

Pikiran Manusia Yang Melampaui Dari Batas Kemampuannya
Dengan banyak sekali upaya, insan mencoba mencari balasan tersebut melalui segala hal yang sanggup dijangkau akalnya. Dalam hal ini, segala hal yang sanggup dijangkau kebijaksanaan insan tidak lepas dari alam semesta, insan dan kehidupan. Ketiga hal inilah yang dijadikan objek/media berpikir untuk mencari balasan yang dimaksud.
Pemecahan yang benar atas duduk kasus ini tidak akan terbentuk kecuali dengan anutan yang jernih dan menyeluruh wacana alam semesta, insan dan kehidupan serta kekerabatan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah kehidupan dunia ini. Islam telah memperlihatkan balasan melalui proses berpikir yang jernih, menyeluruh, benar sesuai dengan akal. Proses pencarian akan duduk kasus pikiran insan ialah sebagai berikut.
1. Proses Keimanan Kepada Allah (Sang Pencipta)

Islam menjawab bahwa di balik alam semesta, insan dan kehidupan ini ada sang Pencipta, yang mengadakan semua itu dari tidak ada menjadi ada. Sang Pencipta itu bersifat (wajib/pasti adanya). Ia pun bukan mahluk alasannya ialah sifatnya sebagai sang Pencipta memastikan bahwa dirinya bukanlah mahluk. Bukti bahwa segala sesuatu itu mengharusakan adanya Pencipta yang menciptakannya sanggup diterapkan sebagai berikut.
Baca juga: wisata terindah di Indonesia yang tak kalah dengan dengan negara lain
Baca juga: wisata terindah di Indonesia yang tak kalah dengan dengan negara lain
Segala sesuatu yang sanggup dijangkau oleh kebijaksanaan terbagi dalam tiga unsur: manusia, alam semesta dan kehidupan. Ketiga unsur ini bersifat terbatas dan bersifat lemah (tidak bisa berbuat dengan dirinya sendiri), serba kurang dan membutuhkan yang lain. Misalnya manusia. Ia terbatas alasannya ialah tumbuh dan berkembang bergantung pada segala sesuatu yang lain, hingga suatu mbatas yang tidak sanggup dilampauinya lagi. Oleh alasannya ialah itu terang ia bersifat terbatas, mulai dari ketiadaan nya hingga batas waktu yang, tidak sanggup dilampaui nya lagi.
Apa yang kita Saksikan selalu pertanda bahwa kehidupan itu ada, kemudian berhenti pada suatu individu itu saja. Dengan demikian, kehidupan itu bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta bersifat terbatas (termasuk mempunyai batas awal dan selesai keberadaannya).
Jika sesuatu bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidaklah azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab, jikalau ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya 'sesuatu yang lain'. Sesuatu yang lain inilah yang dinamakan sang Pencipta, yang membuat manusia, kehidupan dan alam semesta.
Dalam memilih sifat pencipta ini tentu hanya ada tiga kemungkinan. Pertama: ia diciptakan oleh yang lain. Dengan anutan Aliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa kemungkinan ini batil (tidak sanggup diterima oleh akal). Sebab, jikalau ia diciptakan oleh yang lain maka ia ialah mahluk dan bersifat terbatas, yaitu membutuhkan yang lain untuk mengatakannya.
Kedua: ia membuat dirinya sendiri. Kemungkinan kedua ini pun batil. Sebab, dengan demikian ia akan menjadi mahluk dan sang Pencipta pada ketika yang bersamaan. Jelas ini tidak sanggup diterima oleh akal.
Ketiga: ia bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir) dan niscaya adanya dan mutlak keberadaannya. Setelah dua kemungkinan diatas dinyatakan batil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi dan hanya kemungkinan yang ketiglah yang sahih, yakni sang Pencipta itu dilarang tidak harus bersifat azali dan niscaya serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
Jika anda sudah membaca ketiga kemungkinan diatas, mungkin kita sepemikiran. Karena saya memikirkan tiga kemungkinan diatas tapi yang bisa mendekati pertanyaanku hanya belahan ketiga. Apakah anda juga memikirkan itu? Saya rasa ia. Agar lebih jelas, dibawah saya akan membahasnya lebih rinci lagi semoga pertanyaan-pertanyaan yang ada dipikiran anda in syaa Allah bisa terjawab.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang sanggup diindranya, ia sanggup memahami bahwa dibalik benda-benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Dengan memahami bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah dan membutuhkan yang lain. Karenanya, untuk membuktikan adanya pencipta yang maha pengatur sebetulnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri insan itu sendiri.
Baca juga: 7 negara paling menyeramkan di dunia
Apa yang kita Saksikan selalu pertanda bahwa kehidupan itu ada, kemudian berhenti pada suatu individu itu saja. Dengan demikian, kehidupan itu bersifat terbatas. Himpunan dari benda-benda terbatas dengan sendirinya terbatas pula sifatnya. Jadi, alam semesta itu pun bersifat terbatas. Kini jelaslah bahwa manusia, kehidupan dan alam semesta bersifat terbatas (termasuk mempunyai batas awal dan selesai keberadaannya).
Jika sesuatu bersifat terbatas, akan didapati bahwa segala hal tersebut tidaklah azali (tidak berawal dan tidak berakhir). Sebab, jikalau ia azali, bagaimana mungkin ia bersifat terbatas? Tidak boleh tidak, keberadaan semua yang terbatas ini membutuhkan adanya 'sesuatu yang lain'. Sesuatu yang lain inilah yang dinamakan sang Pencipta, yang membuat manusia, kehidupan dan alam semesta.
Dalam memilih sifat pencipta ini tentu hanya ada tiga kemungkinan. Pertama: ia diciptakan oleh yang lain. Dengan anutan Aliyah yang jernih dan mendalam, akan dipahami bahwa kemungkinan ini batil (tidak sanggup diterima oleh akal). Sebab, jikalau ia diciptakan oleh yang lain maka ia ialah mahluk dan bersifat terbatas, yaitu membutuhkan yang lain untuk mengatakannya.
Kedua: ia membuat dirinya sendiri. Kemungkinan kedua ini pun batil. Sebab, dengan demikian ia akan menjadi mahluk dan sang Pencipta pada ketika yang bersamaan. Jelas ini tidak sanggup diterima oleh akal.
Ketiga: ia bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir) dan niscaya adanya dan mutlak keberadaannya. Setelah dua kemungkinan diatas dinyatakan batil, maka hanya tinggal satu kemungkinan lagi dan hanya kemungkinan yang ketiglah yang sahih, yakni sang Pencipta itu dilarang tidak harus bersifat azali dan niscaya serta mutlak adanya. Dialah Allah SWT.
Jika anda sudah membaca ketiga kemungkinan diatas, mungkin kita sepemikiran. Karena saya memikirkan tiga kemungkinan diatas tapi yang bisa mendekati pertanyaanku hanya belahan ketiga. Apakah anda juga memikirkan itu? Saya rasa ia. Agar lebih jelas, dibawah saya akan membahasnya lebih rinci lagi semoga pertanyaan-pertanyaan yang ada dipikiran anda in syaa Allah bisa terjawab.
Sesungguhnya bagi setiap orang yang mempunyai akal, hanya dengan perantaraan wujud benda-benda yang sanggup diindranya, ia sanggup memahami bahwa dibalik benda-benda itu terdapat Pencipta yang telah menciptakannya. Dengan memahami bahwa semua benda-benda tadi bersifat serba kurang, sangat lemah dan membutuhkan yang lain. Karenanya, untuk membuktikan adanya pencipta yang maha pengatur sebetulnya cukup hanya dengan mengamati segala sesuatu yang ada di alam semesta, kehidupan, dan di dalam diri insan itu sendiri.
Baca juga: 7 negara paling menyeramkan di dunia
2. Sifat fitri keimanan

Memang benar, iman kepada yang maha pengatur ini merupakan suatu hal yang fitri dalam diri setiap manusia. Akan tetapi, iman yang fitri ini hanya muncul dari persaan hati yang nrimo belaka. Proses semacam ini tidak bisa dianggap kondusif serta tidak akan membawa sesuatu ketetapan/keyakinan jikalau ditinggalkan (tanpa dikaitkan dengan akal). Sebab, perasaan hati semacam ini sering menambah-nambah apa yang diimani dengan sesuatu yang realistis, bahkan menghalalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang lazim terhadap apa yang ia imani sehingga sanggup menjerumuskan ke arah kekufuran dan kesesatan.
Islam menegaskan penggunaan kebijaksanaan bantu-membantu dengan perasaan hati dan mewajibkan setiap muslim untuk memakai akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang bertakbir dalam urusan akidah. Untuk ini, islam telah mengakibatkan kebijaksanaan sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah, sebagaimana dalam firmannya:
اِنَّ فِىْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
inna fii Kalqis-samaawaati wal-arDi waKtilaafil-laili wan-nahaari la`aayaatil li`ulil-albaab
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat gejala bagi orang-orang yang berakal,
Oleh alasannya ialah itu, wajib bagi setiap muslim untuk mengakibatkan imannya betul-betul muncul dan proses berpikir, penelitian, memperlihatkan serta berhukum pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT secara mutlak.
Dengan sekedar memperhatikan ketiga hal itu, insan sanggup membuktikan adanya sang Pencipta (Al-Khaliq), yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus menurut kebijaksanaan dan dalam jangkauan akal. Lain halnya jikalau seorang hendak memahami zat Allah; hal ini mustahil. Sebab, zat Allah berada diluar jangkauan kemampuan akal. Akal terang tidak mungkin memahami hakikat apa yang berada diluar jangkauannya alasannya ialah keterbatasannya.
Sesungguhnya jikalau iman kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya (Al-Khaliq) pun akan menjadi tepat pula. Jika perasaan hati (yang timbul dari fitrah) yang menyampaikan adanya Allah dibarengi pula kebijaksanaan maka perasaan macam ini akan muncul menjadi suatu keyakinan yang kokoh, yang akan memperlihatkan suatu pemahaman yang tepat serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketahanan. Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakikat zat Allah, justru alasannya ialah kuatnya iman kita kepadanya.
Baca juga: Tanda-tanda keluarnya Dajjal sudah semakin dekat
Semoga dengan membaca artikel ini pemahaman kita terhadap sang Pencipta lebih terang dan lebih logika lagi, alasannya ialah intinya jikalau kita memikirkan zat Allah sungguh itu merupakan hal yang sia-sia dilakukan. Gunakan hati dan perasaan anda juga dalam memahami sang Pencipta.
Creator By: Azmin Kabaena
Editor By: Azmin Kabaena
Islam menegaskan penggunaan kebijaksanaan bantu-membantu dengan perasaan hati dan mewajibkan setiap muslim untuk memakai akalnya dalam beriman kepada Allah SWT serta melarang bertakbir dalam urusan akidah. Untuk ini, islam telah mengakibatkan kebijaksanaan sebagai timbangan dalam beriman kepada Allah, sebagaimana dalam firmannya:
اِنَّ فِىْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَاٰيٰتٍ لِّاُولِى الْاَلْبَابِۙ
inna fii Kalqis-samaawaati wal-arDi waKtilaafil-laili wan-nahaari la`aayaatil li`ulil-albaab
Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat gejala bagi orang-orang yang berakal,
Oleh alasannya ialah itu, wajib bagi setiap muslim untuk mengakibatkan imannya betul-betul muncul dan proses berpikir, penelitian, memperlihatkan serta berhukum pada akalnya dalam beriman kepada Allah SWT secara mutlak.
3. Batas kebijaksanaan dalam memahami sang Pencipta
Hal yang wajib bagi insan untuk memakai akalnya dalam beriman kepada Allah SWT, namun tidak mungkin baginya untuk memahami apa yang ada di luar jangkauan indra dan akalnya. Hal ini alasannya ialah sifat dan kekuatan kebijaksanaan insan terbatas, sehingga pemahamannya pun terbatas.
Akal tidak akan bisa mahami zat Allah dan hakikatnya alasannya ialah Allah berada diluar ketiga unsur pokok alami yang sanggup diindra insan (alam semesta, insan dan kehidupan). Hanya saja, tidak sanggup dikatakan, 'bagaimana mungkin orang sanggup beriman kepada adanya Allah SWT sedangkan akalnya sendiri tidak bisa memahami zat Allah!' tentu tidan bisa dikatakan demikian alasannya ialah pada hakikatnya iman kepada Allah SWT ialah iman kepada keberadaan/eksistensi. Wujud Allah ini sanggup dibuktikan melalui keberadaan mahluk-mahluk nya, yaitu alam semesta, insan dan kehidupan. Ketiganya ini berada dalam batas-batas yang sanggup dicapai oleh kebijaksanaan manusia.
Dengan sekedar memperhatikan ketiga hal itu, insan sanggup membuktikan adanya sang Pencipta (Al-Khaliq), yaitu Allah SWT. Karenanya, iman kepada adanya Allah harus menurut kebijaksanaan dan dalam jangkauan akal. Lain halnya jikalau seorang hendak memahami zat Allah; hal ini mustahil. Sebab, zat Allah berada diluar jangkauan kemampuan akal. Akal terang tidak mungkin memahami hakikat apa yang berada diluar jangkauannya alasannya ialah keterbatasannya.
Sesungguhnya jikalau iman kepada Allah SWT muncul dari akal, pemahaman kita terhadap adanya (Al-Khaliq) pun akan menjadi tepat pula. Jika perasaan hati (yang timbul dari fitrah) yang menyampaikan adanya Allah dibarengi pula kebijaksanaan maka perasaan macam ini akan muncul menjadi suatu keyakinan yang kokoh, yang akan memperlihatkan suatu pemahaman yang tepat serta perasaan yang yakin atas semua sifat-sifat ketahanan. Dengan sendirinya hal ini akan meyakinkan diri kita bahwa kita tidak akan sanggup memahami hakikat zat Allah, justru alasannya ialah kuatnya iman kita kepadanya.
Baca juga: Tanda-tanda keluarnya Dajjal sudah semakin dekat
Semoga dengan membaca artikel ini pemahaman kita terhadap sang Pencipta lebih terang dan lebih logika lagi, alasannya ialah intinya jikalau kita memikirkan zat Allah sungguh itu merupakan hal yang sia-sia dilakukan. Gunakan hati dan perasaan anda juga dalam memahami sang Pencipta.
Creator By: Azmin Kabaena
Editor By: Azmin Kabaena