-->
Kehangatan Puncak Dua Guntur, Bencana Di Puncak, Dan Keseruan Saat Turun Gunung (Catatan Guntur Bab 2)

Kehangatan Puncak Dua Guntur, Bencana Di Puncak, Dan Keseruan Saat Turun Gunung (Catatan Guntur Bab 2)

Bermalam di Puncak Dua Guntur yang Hangat

Puncak dua gunung Guntur menjelang malam, seusai shalat isya, saya menentukan masuk ke dalam tenda. Sebetulnya perut sudah terasa lapar, alasannya ialah sesampainya di puncak saya hanya makan mie cup, itupun menyebarkan dengan dua orang teman.  Saya merebahkan tubuh dan ngemil beberapa camilan dan buah kiwi. Tim kami belum ada yang berinisiatif untuk masak, mungkin sama menyerupai saya, kelelahan sesudah kurang lebih delapan jam mendaki gunung Guntur.

Ada yang istimewa di puncak dua ini, saya tidak tahu apakah di puncak Guntur yang lain juga kondisinya sama. Guntur yang merupakan gunung api aktif, dari dalam perutnya masih mengeluarkan kawah hangat. Ketika merebahkan tubuh di dalam tenda, rasa hangat menjalar ke tubuh saya. Karena hal tersebutlah dikala ngecamp di puncak gunung kali ini saya tidak membenamkan diri ke dalam sleepingbag. Saya memakai sleepingbag sebagai bantal. Beberapa menit sekali saya harus membolak-balikkan badan, mengubah posisi tidur. Karena kalau kelamaan dengan posisi yang sama tubuh kerasa panas juga, takut gosong, udah kayak kambing guling gitu XD Hangat tanah Guntur, seakan menjadi terapi bagi tubuh yang kelelahan sesudah mendaki siangnya.

Suara-suara


Beneran deh, di Guntur tidur saya nyenyak pake banget. Bahkan di rumah sendiri pun saya jarang mencicipi tidur senyenyak dan senyaman itu. Hm... alam memang subhanallah, hampir selalu bisa memperlihatkan ketenangan dan rasa nyaman. Saya berdiri sekitar pukul empat dini hari, itupun alasannya ialah mendengar rintihan orang yang sakit dari tenda sebelah. Kemudian rasa tidak damai menjalar dikala mendengar bunyi air mengalir dari bersahabat tenda kami, entah itu ada yang sedang menuangkan air atau malah yang bikin saya khawatir ialah jangan-jangan ada yang pipis di samping tenda kami. Asli, saya khawatir airnya merembes ke dalam tenda. Saya duduk sambil menepis pikiran tadi, kemudian memastikan tenda kami tidak basah.

Saya tetapkan untuk rebahan lagi sambil menunggu waktu subuh. Sambil mendengarkan percakapan dari tenda sebelah. Seseorang itu memanggil temannya berkali-kali.

“Kunaon, Ril? Lieur apa kumaha?”

“Teu nyaho, yeuh. Teu ngareunah weh,”

“Geus minum tolak angin can?”

“Encan,”

“Arek tolak angin?”

“Aya kitu?”

“Aya, ke ku urang cokot heula,”

Tak usang terdengar langkah kaki. Ternyata tenda tim tetangga sebelah letaknya berpencar. Satu tenda berada sempurna di belakang tenda saya, tenda satunya lagi berada di samping tenda sobat satu team saya yang letaknya di depan tenda saya. Hehe... bisa dimengerti gak sih klarifikasi saya? Asa belibet gini. hoho :D Nah, sobat orang yang sakit itu berniat mengambilkan obat di tenda yang satunya.

Lama tak mendengar langkah kaki yang kembali ke tenda tetangga yang sakit itu, tiba-tiba terdengar kembali bunyi yang sakit tersebut memanggil temannya. Minta dipijitin, katanya, masih dengan bahasa sunda. Saya dan kedua sobat setenda tetapkan untuk keluar dan shalat subuh. Seusai shalat, kami saling bercerita, ternyata kedua sobat saya juga terbangun oleh rintihan orang sakit di sebelah dan terjaga hingga waktu subuh, hanya saja kami saling diam.

Sunrise yang Kece dan Spagetty yang dinanti


Apa yang paling ditunggu-tunggu dikala ngecamp di gunung pada pagi hari? Hiyaaa... apa lagi kalau bukan sunrise. Matahari terbit selalu memikat hati siapa saja yang menatapnya. Kami sibuk mengabadikan gambar. Tak lupa kamipun berfoto dengan latar gunung Cikuray dan gunung tertingi di Jawa Barat, yaitu Gunung Ciremai yang  gagah berdiri di kejauhan. Diam-diam saya mengulang hamdalah dan takbir, betapa besar dan indah ciptaan-Nya.

Kita dan Gunung Cikuray di belakang :)
Ciremai di kejauhan dan ketinggian Guntur
Setelah puas menikmati matahari pagi, kami mulai melaksanakan aktifitas lainnya. Saya membereskan tenda kemudian membantu menciptakan sarapan. Sebetulnya ini yang saya tunggu-tunggu dari semalam, bahkan dikala keluar tenda, hal pertama yang saya tanyakan ialah spagetiii. Hahaha.. spageti menjadi salah satu sajian makan team kami. Muka boleh lecek dan capek, wajah cemerong alasannya ialah abu Gunung Guntur yang gersang, tapi makan ala Italiano. Hohoho... berasa di mana gitu pokoknya :P

Pendaki yang Sakit

Belum usai kami makan, dari tenda tetangga kembali terdengar rintihan orang sakit. Saya dan Teh Angur (satu dari tiga akhwat dalam team kami) saling tatap. Mau disamperin gak teh? Mungkin ada yang bisa kita bantu. Tanya saya pada Teh Angur. Hingga akibatnya kami setuju untuk bertandang ke tenda tetangga. Menengok kondisi mereka.

Kami melihat satu orang terbaring lemas di dalam tenda. Sementara teman-temannya tengah sibuk memasak air dan sarapan. Kami mengucapkan salam dan meminta ijin masuk tenda untuk melihat kondisi sobat mereka yang sakit. Dalam hal ini, sobat saya yang satu ini, meskipun bukan tenaga medis namun cukup berpengalaman untuk menangani orang sakit semacam ini. Terlebih jam terbangnya menaklukkan gugung-gunung, membuatnya banyak belajar.

Namanya Darril, mahasiswa sebuah sekolah tinggi tinggi di Bandung. Usianya gres sembilan belas dan ini pendakiannya yang kedua. Begitu terang teman-temennya pada kami. Saya coba menyuapi Derril dengan air gula hangat sementara Teh Angur mencoba memulihkan kesadaran Derril dengan memijat kaki dan beberapa titik tubuhnya yang lain. Darril hanya mengeluarkan bunyi menyerupai bergumam dan lenguhan sakit. Teman-temannya bilang ia hypo. Tapi entahlah, saya masih menganggap kalau hypo itu kondisi dimana sesorang mengalami sakit akhir udara masbodoh di pegunungan, sementara puncak dua Guntur begitu hangat, menyerupai yang sudah saya ceritakan di atas.  

Melihat dari kondisinya, Darril harus segera diberikan santunan medis. Akhirnya salah satu sobat di kelompok kami berinisiatif untuk mengubungi ranger. Dari bekal kartu nama yang didapat dari posko registrasi kemarin, kami mendapat nomor telepon tersebut dan mereka segera menghubungi tim ranger yang standby di puncak satu. Jaraknya sekitar 30 hingga 45 menit ke puncak dua.

Harusnya kami turun gunung pukul delapan, tapi alasannya ialah berat hati meninggalkan sobat pendaki yang sakit, akibatnya tim kami tetapkan turun gunung jikalau tim ranger sudah datang. Sementara menunggu, kami mulai packing dan melaksanakan operasi semut, memastikan tak meninggalkan sampah di sana.

Kami turun gunung pukul sepuluh, dikala matahari di Guntur mulai terasa panas. Kami turun dengan perasaan yang campur aduk. Lega alasannya ialah tim ranger sudah tiba untuk memperlihatkan santunan kepada Darril, namun juga khawatir melihat kondisi Darril yang sangat lemah. Meskipun ia akan ditandu untuk menuruni gunung, tapi bisa dibayangkan bagaimana susah payahnya melewati puluhan kilometer hingga hingga di posko dengan trek Guntur yang kemiringannya cukup ekstream.

Main Ski Pasir


Cara yang paling efektif untuk menuruni gunung Guntur ialah dengan cara meluncur. Saya menyerupai tengah bermain sky, cuman bukan di air tapi di pasir yang pastinya meninggalkan abu yang teramat pekat di belakang. Hal tersebut yang mengharuskan saya menjaga jarak dengan pendaki di depan. Saya sempat bilang ke temen, kalau caranya menyerupai ini, saya mau ke Guntur lagi deh. Tapi gak mau nanjaknya, maunya pas turun aja :P hehe...

Hanya saja, menuruni trek pasir dengan cara meluncur juga bukan tanpa resiko. Ketika meluncur dengan memakai kaki kiri, sedangkan kaki kanan sebagai rem, memungkinkan resiko jatuh ke belakang yang menjadikan pantat mendarat duluan. Ketika kelelahan meluncur memakai kaki, kadang saya memakai cara lain, yaitu perosotan. Sampai-sampai, ketua team kami celananya bolong alasannya ialah seringnya melaksanakan cara perosotan tersebut XD Sedangkan saya, gres sadar dikala hingga di bascamp bahwa coverbag bab bawah sobek alasannya ialah tergesek pada posisi perosotan XD akakkkkk...

Pukul empat sore kami sudah hingga di bascamp, mengambil KTP dan beristirahat sejenak untuk kemudian kembali ke rumah masing-masing.

Sampai di Rumah dan Sebuah Pesan
Karena sanggup busnya usang pake banget, akibatnya saya hingga di rumah sekitar pukul satu dini hari. Saya eksklusif bersih-bersih badan, shalat, dan cas hp yang sudah low baterenya sejak hari kedua di Guntur. Saya terkejut dikala membuka dialog grup, seorang sobat mengirimkan sebuah screenshoot informasi bahwa pendaki Gunung Guntur, Darril meninggal dunia dikala menuruni Gunung 

Guntur. Innalillahi wa innailaihi rodjiun.

Sisa pagi itu meski sangat lelah, saya tak bisa sepicingpun memejamkan mata. Teringat dengan wajah yang saya suapi dengan air gula hangat di puncak dua. Sempat timbul penyesalan, mengapa gres tergerak melaksanakan pertolongan pertama sesudah matahari meninggi. Padahal kami mendengar erangan sakitnya sedari pukul empat pagi. Kemudian seorang sobat bilang, mari memaafkan diri sendiri. Toh ini sudah dicatatkan di lauful mahfuz.

Pendakian kali ini, Allah menyelipkan pesan janjkematian pada saya, pada sobat satu team, pada kawan-kawan Darril, dan pada pendaki lainnya. Satu pekan setelahnya, beberapa sobat satu team melaksanakan takziah ke makam Darril di Bandung. Saya tidak ikut alasannya ialah Sabtu harinya kuliah... walaupun tidak mengenal Darril dan kawan-kawannya, namun tragedi ini sungguh menciptakan hati kami mendung beberapa usang setelahnya.
Teman pendaki melaksanakan takziah ke makam Darril
Darril dalam kenangan

Tenang di sana ya, Rill. Allah sayang padamu :)

Baca juga: