Judul Buku: Bulan Nararya
Penulis: Sinta Yudisia
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit: Cetakan pertama, September 2014
Jumlah Halaman: 256 hlm
ISBN: 978-602-1614-33-4
Harga: Rp 46.000,-
Penulis: Sinta Yudisia
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Jumlah Halaman: 256 hlm
ISBN: 978-602-1614-33-4
Harga: Rp 46.000,-
Bulan Nararya merupakan novel psikologi bergizi yang ditulis dengan perenungan yang matang dan kedalaman ilmu yang dimiliki oleh penulisnya, yaitu Sinta Yudisia, yang tengah menuntaskan pendidikan magister Psikologi Profesi di Universitas 17 Agustus 1945. Kehadiran novel ini, di tengah-tengah masyarakat pembaca buku Indonesia seolah memperlihatkan satu warna yang berbeda, memperlihatkan corak lain pada dunia pernovelan yang belakangan ini didominasi oleh tema cinta, humor, dan fantasi.
Dengan diterbitkannya novel yang merupakan juara tiga kompetisi menulis yang diadakan oleh Kementrian Pariwisata dan Kementrian Ekonomi Kreatif RI ini, kembali menegaskan, bahwa Indiva Media Kreasi, merupakan penerbit yang mempunyai huruf yang khas pada novel-novel yang diterbitkannya. Kekhasannya terletak pada tema yang berbeda, idealisme, serta kedalaman dongeng yang menyuratkan ketekunan penulis dalam menuliskan kembali ilmunya, menyampaikannya pada khalayak pembaca. Sebut saja novel-novel lainnya menyerupai Tetralogi De Wints, Tarrapuchino, Rengganis, Pasukan Matahari, dan beberapa novel terbitan Indiva lainnya yang bisa dibilang sebagai naskah ‘jagoan’ dari masing-masing penulisnya.
***
“Aku pernah punya suami normal, karir kami masing-masing normal, tapi kehidupan kami nggak normal. Aku punya teman-teman yang normal, tapi hidup mereka juga nggak normal. Banyak kesepakatan nikah berisi sepasang insan yang normal, tapi keseharian mereka abnormal. Saling melukai, tak membangun komunikasi, tak mencoba mencintai,”
“di klinik, klien kami orang-orang abnormal. Tapi kehidupan mereka melampaui normal, bukan hanya alasannya imbas obat. Tapi di antara kami timbul perasaan saling menerima.” (Hal:55).
“di klinik, klien kami orang-orang abnormal. Tapi kehidupan mereka melampaui normal, bukan hanya alasannya imbas obat. Tapi di antara kami timbul perasaan saling menerima.” (Hal:55).
Nararya Tunggadewi ialah seorang terapis yang bekerja di klinik mental health center. Sebuah sentra rehabilitasi, salah satunya bagi penderita gangguan kejiwaan semacam skizophrenia, orang-orang dengan gangguan struktur otak dan banyak sekali tekanan luar biasa dalam hidup yang mengakibatkan mereka kehilangan kemampuan berfikir normal, berilusi, dan halusinasi yang mengakibatkan pederitanya tidak bisa membedakan antara kenyataan dan khayalan.
Beberapa kali Rara—panggilan tokoh Nararya, mengusulkan Transpersonal, cara gres untuk melaksanakan terapi secara psikologis yang menekankan pada pendekatan personal oleh orang-orang terdekatnya, untuk kemudian menghentikan pengobatan secara farmakologi atau memakai obat-obatan yang bisa menjadikan imbas ketagihan. Namun Bu Sausan, selaku kepala mental health center menolak mentah-mentah wangsit tersebut. Karena menurutnya, Transpersonal merupakan tingkat terbawah pilihan terapi. Ditambah lagi penelitian yang dilakukan Rara soal itu masih sangat mentah.
Beberapa pasien yang ditangani Rara mempunyai latar belakang dan penyebab gangguan kejiwaan yang berbeda-beda. Sania, seorang gadis kecil yang ditemukan oleh dinas sosial di terminal dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Ia dibesarkan oleh nenek miskin yang ringan tagan, ibu pemarah, dan ayah yang pemabuk. Hal tersebut menjadi latar belakang yang berpengaruh atas depresi yang dialaminya sampai akibatnya ia terdampar di sentra hehabilitasi tersebut. Pasien yang lainnya ialah seorang laki-laki berumur 70-an. Awalnya laki-laki itu ialah penghuni forum pemasyarakatan yang ditangkap dengan tuduhan pencurian. Orang-orang menganggapnya gila dan laki-laki itu sering mendongkakkan wajahnya ke langit untuk berlama-lama menatap bulan, oleh alasannya itu ia dipanggil dengan sebutan Pak Bulan. Sedangkan Yudishtira, laki-laki yang sesekali berbicara dengan lukisan yang digambarnya. Awalnya ia ialah laki-laki biasa dengan kehidupan normal. Memiliki istri dan keluarga yang teramat menyayanginya; ibu, kakak-kakak perempuan. Kemelut rumah tangga dan keluarga membuatnya mengalami depresi sampai akibatnya ia dikirim ke kawasan rehabilitasi tersebut. Setidaknya ketiga pasien tersebutlah yang belakangan menyita banyak perhatian dan waktu Rara.
Meski Rara seorang terapis, ia hanya insan biasa yang tak sanggup menghindar dari tekanan masalah-masalah langsung maupun pekerjaannya. Terlebih ketika kekerabatan pernikahannya dengan Angga yang sudah berjalan selama sepuluh tahun tidak bisa dipertahankan lagi. Ditambah Moza, seseorang yang selama ini dianggap sebagai sahabat baiknya ternyata ringkih dan berkhianat, menciptakan Rara hampir membenci Moza. Hingga suatu hari Rara merasa dirinya mengalami gangguan delusi atau bahkan menderita skizophrenia menyerupai pasien-pasiennya yang lain. Namun satu hal yang ia yakini, bahwa serakan kelopak mawar yang bercampur darah kecoklatan di lantai depan pintu ruang kerjanya bukanlah delusi atau halusinasi yang disangkakan oleh Bu Sausan. Ia hanya perlu sedikit bersabar, yakin, dan berusaha mengumpulkan bukti atas kebenaran tersebut. Sebuah misteri yang akibatnya terkuak. Hingga saatnya satu persatu problem yang mendera Rara, langsung maupun pekerjaan perlahan tapi niscaya kian menemukan titik terang. Pun dengan kehadiran sosok Pak Robin di kehidupan Sania, kemudian sosok Diana, ibu beserta kakak-kakak Yudishtira mewarnai terapi yang melibatkan orang-orang terdekat pasien yang dilakukan oleh Rara.
Konflik yang dibangun Sinta Yudisia di novel ini cukup kompleks, alur bercerita yang mengalir, dan ada beberapa kepingan dongeng yang menciptakan pembaca tegang sekaligus penasaran. Tentu saja, pembaca akan menjumpai beberapa istilah psikologi menyerupai transpersonal, psikoanalis, humanistic, behavioris, dan juga COD yang menciptakan novel ini kental dengan nuansa ilmiah namun tetap memperlihatkan drama kehidupan yang sesuai dengan realita.
Bulan Nararya merupakan fiksi bergizi yang pantas bersaing dengan novel-novel best seller lainnya. Saya rasa tidak berlebihan bila nama Sinta Yudisia, yang merupakan ketua umum Forum Lingkar Pena (FLP) melalui karya-karyanya, lambat-laun akan bisa disandingkan dengan novelis-novelis nasional yang lainnya menyerupai Afifah Afra, Dee, Tere Liye atau bahkan Habiburrahman El Shirazy
*Lina Astuti, Seorang pendidik dan Pegiat FLP Karawang
Resensi ini diikutkan dalam Lomba Menulis Resensi Indiva 2015