Pencarian Sekolah di Dalam Hutan
Siang itu, seusai menggelar agresi penggalangan dana untuk pembangunan masjid Tolikara, Papua, saya dan seorang sobat meluncur ke tempat tujuan kami selanjutnya. Kami akan mencari ‘sekolah di dalam hutan’. Sebuah pencarian yang sempat gagal pada perjalanan saya sebelumnya dengan dua orang sobat yang lain. Saat itu kami tengah mencari lokasi untuk event acara sosial di bidang pendidikan. Namun lantaran medannya sulit dan kondisi kami pada dikala itu cukup kelelahan, maka kami tetapkan untuk tidak melanjutkan perjalanan, dan ‘sekolah di dalam hutan’ hanya menjadi sebuah dongeng dari lisan ke lisan yang tak bisa kami buktikan benar keberadaanya.
Sahabat saya, Teh Ika, selalu antusias ketika menyimak dongeng perjalanan kami pada dikala itu. Hingga saya dan ia merencanakan sesuatu, bertekad untuk mencari hingga ketemu ‘sekolah di dalam hutan’, sebuah sekolah marginal, yang katanya, terusan masuk ke desa tempat sekolah tersebut berada harus melewati hutan belasan kilometer.
Seusai shalat dzuhur di salah satu masjid di daerah Klari, saya dan Teh Ika berboncengan memakai matic menuju lokasi yang kami tuju. Pada dikala itu masih suasana lebaran, arus balik masih belum terlihat di jalan utama Karawang-Cikampek. Beberapa belokan jalan pun masih ditutup. Kami berbelok di pertigaan Walahar menuju Kecamatan Ciampel, menyusuri sungai yang di tepiannya terdapat banyak flora eceng gondok. Sepanjang perjalanan kami mengobrol, ihwal banyak hal. Sebuah kebiasaan yang hampir selalu menghiasi perjalanan kami berdua.
Saya mencoba mengerahkan ingatan empat bulan yang kemudian ketika mencoba mencari lokasi tersebut. Tiba di persimpangan jalan, saya bingung, alasannya ialah tempat itu terlihat berbeda dari terakhir saya melewatinya. Ada aktifitas pembukaan lahan, entah untuk kepentingan apa. Akhirnya, kami bertanya pada beberapa anak muda yang tengah nongkrong di situ. Tak usang sesudah mengikuti petunjuk yang diberikan, jadinya sekolah dasar Mulya Sejati berhasil dilewati, itu artinya kami berdua berada di jalan yang tepat.
Beberapa puluh menit kemudian, jalan yang kami lewati hanya berupa pepohonan dengan jalan kerikil yang cukup menciptakan laju kendaraan kami melambat. Untuk meyakinkan diri, jadinya kami tetapkan untuk bertanya pada seorang ibu penjaga warung. Ibu itu menawarkan pernyataan, jikalau sekolah di dalam hutan itu memang benar adanya. Kami diarahkan untuk lurus saja mengikuti jalan utama dan jangan pernah berbelok ke arah kanan. Ah, saya lupa bagaimana instruksi ibu tersebut tepatnya. Kami melanjutkan perjalanan dengan medan yang semakin sulit, bebatuannya semakin susah untuk dilalui, terlebih untuk yang tidak terbiasa melewatinya.
Kami behenti di persimpangan jalan, pada dikala itu pemandangan kanan-kiri kami sudah berbentuk hutan. Dua arah yang berbeda di depan mata menciptakan kami tetapkan menunggu orang untuk dimintai informasi. Seorang bapak dengan sepedah motornya melintas di depan kami. Akhirnya ada yang bisa ditanya. Kebetulan bapak tersebut menuju lokasi yang sama dengan yang kami tuju. Kami mengikuti bapak tersebut dari belakang.
Angin segar seolah membelai badan kami yang kegerahan siang itu. Sebuah portal memberitahukan bahwa kami telah memasuki pemukiman warga. Betul saja, terlihat pemukiman yang tidak terlalu luas, saya taksir mungkin hanya ada belasan rumah di pemukiman tersebut. Tiba di depan warung kami kembali bertanya ihwal sekolah dasar yang dituju. Lurus, lokasinya tak berapa jauh sesudah jembatan, kata salah satu bapak menjelaskan. Saya dan Teh Ika semakin bersemangat.
Kami Menemukannya
Sesampainya di ujung pemukiman. Saya terperangah dan berkali-kali mencoba meyakinkan diri bertanya pada Teh Ika. “Teh, kita ada di mana sih?” sejauh mata memandang, bangunan-bangunan megah berdiri, saya yakin itu ialah sebuah daerah industri. Saya seakan buta arah, tak tahu mana barat mana timur. Benar-benar tak faham rute yang telah kita lewati sebelumnya dari arah mana ke bab bumi sebelah mana. “Ujung dunia?” jawab Teh Ika. “Jangan-jangan kita di belakang daerah KIIC.” Kata saya lagi, yakin tak yakin. Sementara sebuah bangunan sekolah yang merupakan tujuan utama kami siang itu sempat terabaikan.
Teh Ika memarkirkan motor di area parkir sekolah. Saya duluan menuju lapangan sekolah. Memerhatikan pintu-pintu, jendela-jendela, atap, tiang bendera, dan ah...ada hal yang menarik di situ. Dua buah spanduk terbentang di depan sekolah. Spanduk yang menjelaskan bahwa sekolah tersebut bermitra dengan puluhan perusahaan yang namanya tertulis di sana. Saya dan Teh Ika gres sadar, jikalau daerah industri di depan mata kami barusan ialah sebuah daerah industri Surya Cipta. Salah satu daerah idustri terbesar di Karawang.
![]() |
Kawasan industri dan SD di dalm hutan |
Kami berdua duduk di depan sekolah tersebut. Saya menarik nafas panjang. Kami berdua saling melempar senyum dan merasa takjub dengan perjalanan kami hari ini. Sekolah di dalam hutan, sebuah sekolah yang selama empat bulan menciptakan saya dan Teh Ika penasaran, kondisinya ternyata di luar bayangan kami sebelumnya. Di hadapan kami berdiri sebuah bangunan yang sangat amat layak disebut sebagai sekolah. Jauh dari kesan marginal dan tertinggal.
![]() |
Spanduk Perusahaan Mitra Sekolah |
![]() |
gerbang daerah Surya Cipta. Sekolah dalam hutan hanya 10 menit dari pintu gerbang kawasan. Bila melewati hutan dan perkampungan, waktu yang ditempuh mencapai satu jam lebih. |
Ini ialah bukti bahwa tempat dulu kami melakukan event #SejutaPensilWarna 8 Maret 2015 kemudian di SDN Makmur Jaya 3, sebuah sekolah yang puluhan siswanya terpaksa berguru di teras lantaran kekurangan ruang kelas, ialah sebaik-baiknya tempat yang Allah pilihkan. Bila dibandingkan dengan sekolah lain yang kami survey sebelum event, pun ‘sekolah di dalam hutan’ yang hari itu kami datangi ternyata jauh lebih layak.
Saya sadar. Pilihan Allah selalu tepat. Kali itu Dia memperlihatkan bukti, bahwa pilihan-Nya tak keliru. Tak ada yang salah sedikitpun. Tak pernah.
Seketika, saya teringat pada satu kejadian. Di mana saya dan Fredy Setiawan, salah satu pelopor awal AB Karawang, bertengkar hebat. Saya bilang padanya:
“Saya berhenti jadi sekertaris AB. Berhenti! Anggap saja dulu, kau merekrut orang yang salah!”
Baca juga:
Pesan whatsapp itu saya kirim dengan penuh emosi dan sakit hati..
Hingga akhirnya, Allah, memberitahu saya dengan cara-Nya yang indah, bahwa tak ada sesuatupun yang salah dengan pilihan-Nya. Tak ada! Termasuk saya, kamu, dia, yang sekarang menjadi KITA. Meski saya tak pernah tahu, hingga kapan...September, 2015